![]() |
Bencana Kabut Asap di Riau |
Kasus kabut asap sudah berlangsung hampir selama 3 bulan selama Tahun 2015 di sebagian besar wilayah Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan menimbulkan banyak pekerjaan rumah bagi Pemerintah. Dampak yang ditimbulkan sudah sangat kompleks dan semakin parah merugikan masyarakat. Mulai dari kesehatan yang memburuk, tingkat kematian akibat ISPA yang meningkat, perekonomian yang lesu, serta masalah hukum yang menjerat beberapa perusahaan yang diduga secara sengaja membakar lahan terutama lahan gambut untuk membuka lahan baru.
Banyaknya korban jiwa yang timbul akibat bencana yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional ini telah memberikan pelajaran berharga terhadap pentingnya keberadaan ruang yang aman. Salah satu instrument yang dinilai cukup strategis perannya dalam upaya meminimilisasi korban bencana tersebut adalah penataan ruang. Selama ini penataan ruang membantu dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan yang pada banyak hal bersinggungan dengan masalah kerawanan bencana, baik itu kerawanan lahan secara alamiah (rawan terhadap gempa, tanah longsor, banjir, dan lain sebagainya), maupun kerawanan akibat kegiatan manusia (bahaya industri, penurunan muka tanah, pemanasan global, dan lain sebagainya).
Artikel kali ini kita akan coba membahas lebih spesifik bencana kabut asap yang terjadi pada satu wilayah yaitu Provinsi Riau. Sebelumnya mari kita kupas mengenai tata ruang provinsi Riau yang menjadi pedoman dalam pengelolaan ruang. Sesuai Kepmen 173 Tahun 1986 tentang tata guna hutan kesepakatan bahwa kategori kawasan yang ditetapkan di Provinsi Riau adalah hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, dan hutan produksi konversi. 

Seiring dengan perkembangan waktu, Peta TGHK tersebut mengalami beberapa perubahan hal ini terjadi karena :
- Adanya in-out kawasan hutan karena proses tata batas
- Adanya tukar menukar kawasan hutan
- Adanya pelepasan kawasan hutan
Tingginya konversi hutan lahan gambut maupun hutan lindung menjadi hutan tanaman industri di Provinsi Riau selama ini, diduga akibat pelanggaran pemberian izin terhadap beberapa perusahaan yang berada di wilayah tersebut. Yang terjadi saat ini banyak pelanggaran yang terjadi pada kawasan hutan lindung tersebut yang dikonversi menjadi hutan tanaman industri sebagaimana tergambar dalam peta berikut:


Selain konversi menjadi hutan tanaman industri, hutan lindung di Provinsi Riau juga banyak berubah fungsinya menjadi perkebunan. Berikut adalah peta pelanggaran izin perkebunan yang terjadi sampai tahun 2007:


Luasnya lahan gambut di Provinsi Riau yang mana kondisi memang mudah terbakar, dan diperparah dengan maraknya pembakaran lahan gambut yang diduga dilakukan dengan sengaja pada lahan gambut tersebut maka kabut asap yang terjadi selama ini memang tidak terhindarkan. Berikut adalah peta pelanggaran yang terjadi pada kawasan lahan bergambut tersebut yang dikonversi menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan.
Wilayah yang diberi warna merah diatas merupakan bentuk pelanggaran yang telah terjadi yaitu Hutan Tanaman Industri seluas 614.150 hektar dan Perkebunan seluas 96.645 hektar (data hingga tahun 2007).
Dalam Kepres No.32 Tahun 1990 tentang pengelolaan hutan lindung Provinsi Riau, bahwa kategori kawasan hutan bergambut juga ditambahkan dalam kawasan hutan lindung. Walaupun keberadaan lahan bergambut yang masuk dalam dalam kawasan hutan lindung juga didukung oleh Perda No.10 Tahun 1994 tentang RTRW Provinsi, namun pelanggaran juga dapat digambarkan dengan peta pelanggaran penggunaan hutan lindung sebagai hutan tanaman industri sebagai berikut:
Selain dikonversi menjadi hutan industri, konversi hutan lindung versi Perda No.10 Tahun 1994 ini juga banyak terjadi menjadi perkebunan.
Tren pelanggaran-pelanggaran terhadap tata ruang yang sudah disusun oleh Pemerintah tersebut menunjukkan lemahnya penegakan peraturan dilingkup bawah proses perencanaan. Cacatnya proses perijinan terhadap aktivitas-aktivitas perusahaan dan kepentingan pribadi juga menjadi penyebab maraknya pembakaran lahan sehingga menyebabkan bencana kabut asap seperti sekarang.
Tidak semata-mata hanya akibat pelanggaran penggunaan lahan saja yang menyebabkan adanya bencana kabut asap ini, namun kontribusi peraturan daerah dalam hal ini adalah rencana tata ruang khusus perencanaan kehutanan yang lebih rinci serta lengkap juga masih sangat minim. Berikut adalah kelemahan dan penyimpangan yang terjadi dalam perencanaan kehutanan di Provinsi Riau.
Proses penyusunan rencana tata ruang (perencanaan kehutanan) di Provinsi Riau berdasarkan berbagai diskusi dapat disimpulkan dengan diagram sebagai berikut:
Akibat dari kelemahan diatas, maka beberapa gap muncul dalam rencana tata guna hutan kesepakatan yang hingga saat ini masih berlaku di wilayah setempat dengan rencana tata ruang wilayah nasional sebagai berikut:
Jika peraturan-peraturan daerah lainnya dikomparasikan dengan RTRW Nasional kita, maka ditemui beberapa gap yang terjadi sebagai bukti bahwa rencana di tingkat lokal belum disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah nasional yang seharusnya menjadi pedoman penyusunan rencana tata ruang dibawahnya. Berikut adalah masing-masing gap antara RTRW Kawasan dengan RTWN.
Demikian penjelasan mengenai bencana kabut asap di Provinsi Riau jika ditinjau dari segi penerapan rencana tata ruang wilayah berlaku. Melihat bencana yang terjadi sudah berlangsung cukup lama dan berulang setiap tahunnya, maka sudah seharusnya perbaikan yang terjadi tidak lagi bersifat responsif terhadap bencana kabut asap, namun harus bersifat preventif agar bencana kabut asap tersebut tidak selalu berulang.
Baca : Konflik Lahan Penambangan Pasir di Kab. Lumajang
Baca : Konflik Lahan Penambangan Pasir di Kab. Lumajang
Artikel yang menarik dan berguna.
ReplyDeleteBuruan Gabung Sekarang Juga dan Dapatkan Bonus Hingga Jutaan Rupiah Setiap Harinya Hanya di judi poker online terbesar